uyungs

Boediono, Politik, HAM, Demokrasi dan Ekonomi

In Uncategorized, wakil rakyat on Mei 19, 2009 at 6:30 am

Proses modernisasi dan demokratisasi adalah perjalanan yang panjang dan penuh risiko, juga penuh persimpangan yang menuntut keputusan-keputusan yang benar. Proses sejarah tidak mengenal belas kasihan. Hanya bangsa yang mempunyai pandangan ke depan, keyakinan, keuletan dan kecerdasan yang dapat menyelesaikan perjalanannya. Yang lainnya tidak beranjak dari posisi awalnya, atau menjadi negara gagal atau bahkan hilang dari peta sejarah.

Sejarah menunjukkan bahwa keberhasilan proses transformasi menuju masyarakat yang makmur, demokratis dan terbuka ditentukan oleh keberadaan kelompok pembaharu sebagai ujung tombak dan pengawal proses transformasi. Tanpa kelompok pembaharu, proses transformasi akan berisiko mandeg atau keluar dari jalur yang kita inginkan.

Kelompok pembaharu bisa datang dari latar belakang sosial yang berbeda. Di Inggris adalah kaum borjuis yang telah berperan sebagai pembaharu sosial, pada awalnya dalam meruntuhkan struktur feodal dan selanjutnya menjadi ujung tombak dan pengawal proses modernisasi dan demokratisasi. Di Amerika Serikat proses transformasi oleh kelompok ini berlangsung lebih cepat karena dari awal tidak ada struktur feodal yang harus diruntuhkan.

Di Jerman, justru kaum birokrat (yang terdiri dari para ex-aristokrat) yang menjadi kelompok pembaharu. Jerman pada abad 19 mempunyai sistem birokrasi paling modern di dunia dan, melalui reformasi birokrasi, mereka menciptakan rule of law yang mantap dan sistem jaminan sosial modern. Di Jepang cikal-bakal dari kelompok pembaharu adalah kaum samurai yang mentransformasikan diri menjadi motor penggerak modernisasi.

Bagi negara berkembang barangkali terlalu lama untuk menunggu terbentuknya kelompok pembaharu secara alamiah. Negara berkembang seyogyanya tidak mengandalkan satu atau dua kelompok sosial saja sebagai kelompok pembaharunya. Yang terbaik adalah mendorong terbentuknya koalisi luas, yang terdiri dari para demokrat dari semua segmen sosial. Kelompok pembaharu ini dapat meliputi unsur-unsur reformis dari kaum pengusaha, intelektual, profesional, birokrat, pemuda, aktivis LSM dan lain-lain. Mereka diikat oleh kesamaan platform, yaitu memperjuangkan nilai-nilai demokrasi seperti hak asasi manusia, keterbukaan, kebebasan berusaha, good governance, rule of law dan sebagainya.

Syarat yang paling mendasar bagi keberhasilan proses transformasi setiap bangsa adalah kemampuannya untuk mempertahankan eksistensi dan keutuhannya sepanjang perjalanan. Pada akhirnya kemampuan itu tergantung pada kekuatan kohesi sosialnya. Setiap bangsa memiliki kapasitas kohesi sosial yang berbeda. Indonesia, karena keragaman kultur dan heterogenitas masyarakatnya, memiliki daya tahan yang relatif rentan. Yang perlu diwaspadai, terutama pada tahap-tahap awal yang rawan, adalah bahwa suatu bangsa harus pandai-pandai menjaga keseimbangan antara kekuatan kohesi sosialnya di satu sisi dan kecepatan perubahan yang ingin dilaksanakannya di sisi lain. Setiap perubahan selalu membawa stress dan strain. Imbangan mana yang paling tepat bagi suatu bangsa, pada akhirnya terpulang pada kenegarawanan dan kearifan pemimpin bangsa atau kaum elite-nya.

Demokratisasi, desentralisasi, modernisasi dan transformasi menuju keterbukaan, apabila tidak dikelola dengan arif, dapat menciptakan kekuatan-kekuatan sentrifugal. Sebaliknya, pendidikan, pertumbuhan ekonomi yang tersebar dan penerapan good governance akan memperkuat kohesi sosial.

Modal politik berupa kesadaran berbangsa warisan para pendahulu kita dengan pergantian generasi akan terus merosot apabila tidak ada upaya sadar untuk mengisinya kembali. Upaya nation building dari para pendiri bangsa ini belum selesai dan mungkin tidak pernah selesai. Kita wajib meneruskannya, meskipun (atau lebih tepatnya, justru karena) kita hidup dalam era globalisasi. Kita mendambakan suatu kesadaran kebangsaan yang memaknai bahwa, apapun perbedaan kita, kita tetap saudara, bahwa lawan politik adalah lawan bertanding dan bukan musuh yang harus dilenyapkan.

Risiko besar lain yang menghadang perjalanan transformasi bangsa adalah stagnasi ekonomi, atau kemunduran ekonomi atau, lebih serius lagi, krisis ekonomi. Apabila ini terjadi besar kemungkinan proses transformasi akan kandas di tengah jalan. Orde Baru harus diakui cukup berhasil mewujudkan perbaikan ekonomi dan sosial, tetapi gagal merespons tuntutan lain yang makin mengkristal, yaitu dambaan akan demokrasi, keterbukaan, pemberantasan KKN dan penegakan hukum.

Orde Reformasi kemudian lahir, demokrasi mekar dan bersemi, meskipun unsur-unsurnya belum berfungsi sepenuhnya. Keterbukaan dan kebebasan berpendapat, dengan plus dan minusnya, sudah merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan di bidang ini Indonesia diakui yang paling maju di kawasan ini. Pemberantasan KKN secara sistematik sudah bergulir, meskipun ada sementara kalangan yang masih meragukan keberlanjutannya. Kerangka reformasi di bidang hukum sudah mulai kelihatan bentuknya dan langkah-langkah awal sudah diambil, meskipun kepastian hukum masih tetap menjadi keluhan utama dari para investor.

Kita sekarang berada pada jalur yang benar dalam memenuhi tuntutan reformasi, meskipun masih banyak PR yang belum selesai. Risiko utama yang kita hadapi pada tahap ini adalah apabila kita sebagai bangsa kehilangan gairah dan stamina untuk melanjutkan perjalanan kita, atau apabila kita kehilangan kepercayaan atau kesabaran pada proses reformasi yang kita jalankan, atau apabila kita asyik terlena dalam eforia dan hingar-bingar ”demokrasi” sehingga melupakan tujuan reformasi yang sebenarnya. Apabila itu terjadi, maka itu sungguh sebuah tragedi (lagi) dalam sejarah bangsa kita.

Kenyataan yang perlu kita waspadai adalah bahwa dari segi penghasilan per kapita, kita masih berada pada zona risiko tinggi untuk keberhasilan demokrasi. Penghasilan per kapita Indonesia pada tahun 2006 (atas dasar PPP 2006) diperkirakan sekitar 4000 dolar, masih agak jauh dari batas aman 6600 dolar. Strategi yang terbaik adalah untuk secepatnya meninggalkan zona bahaya ini. Apabila hasil riset yang ada dapat kita jadikan pegangan, Indonesia masih akan memerlukan waktu paling tidak sembilan tahun lagi untuk mencapai ”zona aman” bagi demokrasinya. Sementara itu, berbagai kerawanan akan bersama kita dan demokrasi yang baru mekar ini perlu dikawal.

Tanpa harus mengorbankan demokratisasi yang kita jalankan, hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan ekonomi yang timbul karena proses demokrasi atau, apalagi, karena ekses-eksesnya, harus kita hilangkan. Kita harus berani mengambil posisi strategis yang jelas mengenai imbangan antara teknokrasi dan demokrasi. Ini semua justru demi keberlanjutan demokrasi itu sendiri.

Salah satu simpul kritis dalam pembangunan demokrasi adalah terciptanya suatu kelas pembaharu yang handal yang berperan sebagai pendorong dan pengawal
demokratisasi. Demokrasi di sini harus kita artikan secara substantif dan mencakup tidak hanya mekanisme formal demokrasi (pemilihan umum yang bebas dan terbuka, multi-partai, pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, peran pers dan organisasi kemasyarakatan dan sebagainya), tetapi juga nilai-nilai dasar yang memberi sukma pada demokrasi.

Pembedaan antara demokrasi dalam arti mekanisme formalnya dan demokrasi dalam arti substantif, teramat penting karena tidak jarang kita merasa bahwa hampir semua persyaratan formal demokrasi telah kita penuhi, tetapi kita kecewa karena dalam kehidupan nyata kita belum merasakan suasana demokrasi seperti yang dijanjikan konseptornya atau seperti yang dinikmati oleh masyarakat di negara demokrasi yang telah mapan. Itu adalah kasus demokrasi tanpa sukma.

Tanpa adanya kelas pembaharu yang handal proses demokratisasi akan menghasilkan demokrasi tanpa sukma, atau berhenti di tengah jalan, atau berjalan tanpa arah atau, lebih buruk, melahirkan antitesis dari demokrasi. Sejarah juga mencatat bagaimana demokrasi bisa ”dibajak” di tengah jalan karena kelompok pengawalnya tidak cukup kuat menghadapi pihak antidemokrasi. Bagaimana di Indonesia? Kelompok pembaharu di Indonesia barangkali masih jauh lebih kecil daripada di India. Tetapi ia berkembang cepat, terutama sejak masa reformasi dan khususnya di kalangan kaum muda. Kita juga punya satu plus dibanding India – kondisi stratifikasi dan mobilitas sosial di Indonesia jauh lebih baik. Oleh karena itu kita semestinya tidak boleh terlalu pesimis mengenai prospek perkembangan demokrasi di Indonesia.

Pertanyaan yang relevan adalah bagaimana kelompok ini dapat lebih didorong untuk memperkuat proses modernisasi dan demokratisasi di negara kita. Langkah yang paling efektif untuk memperkuat kelompok pembaharu, kembali lagi, adalah memacu pertumbuhan ekonomi yang tersebar, karena dari situlah awal terciptanya kelas menengah. Sebaliknya, kemunduran ekonomi dan krisis ekonomi harus dihindari karena dari situlah awal dari kepunahan kelas menengah. Selain pertumbuhan ekonomi itu harus tersebar, ia harus memenuhi satu syarat lain, yaitu bersumber dari kegiatan-kegiatan enterpreunerial dalam iklim kompetisi yang sehat.

Selain menciptakan iklim usaha dan iklim kompetisi yang sehat pemerintah dapat
memacu terbentuknya kelompok pembaharu dengan mendorong perkembangan
kelompok wirausaha yang tangguh melalui program-program khusus untuk menghilangkan kendala-kendala yang dihadapi oleh usaha kecil dan menengah untuk mengakses pembiayaan, teknologi, layanan infrastruktur dan pasar. Pengusaha kecil dan menengah adalah embrio dari kelas menengah yang tangguh. Karenanya program pengembangan UKM merupakan elemen penting dalam upaya pengembangan demokrasi.

Satu permasalahan khusus dan sensitif yang dihadapi Indonesia sejak kemerdekaan adalah hubungan pengusaha pribumi dan nonpribumi. Permasalahan yang sangat rumit ini seyogyanya dibahas secara terbuka dan dicarikan pemecahannya bersama. Tidak ada solusi lain kecuali menyatukan kedua kekuatan itu untuk membangun bangsa. Upaya itu harus menjadi bagian dari program besar integrasi bangsa, dengan mengikis secara bertahap tapi sistematis sekat sosio-ekonomi-kultural antara kedua kelompok ini. Masing-masing kelompok, atau lebih tepatnya kaum elite dari masing-masing kelompok, harus lebih membuka diri dan mengambil inisiatif untuk saling menjangkau dan dengan kejujuran mencari titik-titik temu, dengan seluas mungkin melibatkan generasi mudanya. Negara patut mendorong dan memfasilitasi secara adil dan sungguh-sungguh proses ini.

Langkah penting lain untuk membentuk kelompok pembaharu yang handal adalah melalui pendidikan. Kuncinya terletak pada materi pendidikan yang pas dan proses belajar-mengajar yang efektif. Ada dua catatan penting di sini. Pertama, penyediaan pendidikan bermutu bagi elite bangsa harus didasarkan pada sistem seleksi terbuka berdasarkan prestasi atau merit system dan bukan berdasarkan hak-hak dan kedudukan istimewa.

Kedua, agar demokrasi mengakar, pendidikan elite itu harus tetap dibarengi dengan pelaksanaan program pendidikan dasar yang bermutu dan terbuka lebar bagi semua anak Indonesia. Di bidang pendidikan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan.

Faktor pendukung penting lain bagi perkembangan kelas pembaharu adalah keterbukaan dengan dunia luar. Semakin terbuka dan semakin terintegrasi negara tersebut dengan komunitas dunia, semakin subur pertumbuhan kelas pembaharu di negara itu. Arus informasi, manusia, barang dan jasa serta investasi dari luar adalah katalis bagi perkembangan kelompok pembaharu. Indonesia sekarang tergolong negara yang paling bebas dari segi arus informasi. Tidak ada hambatan sistemik bagi wartawan, akademisi, pengusaha, profesional, LSM asing untuk masuk ke Indonesia. Ini semua akan sangat membantu tumbuhnya kelompok pembaharu di negeri ini. Risiko keamanan memang ada, dan akan selalu ada. Tetapi, demi tujuan yang lebih besar, masalah itu harus tetap dikelola secara proporsional.

Keikutsertaan Indonesia di banyak forum, baik regional maupun global, telah dan akan makin membuka pikiran kita terhadap praktek-praktek terbaik di dunia dan sangat berguna bagi upaya kita untuk membangun institusi-institusi pendukung modernisasi dan demokratisasi. Investasi dari luar negeri, terutama dari negara-negara yang menjunjung tinggi asas-asas good governance di negaranya, perlu kita buka lebar, bukan hanya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi kita, tetapi juga untuk meningkatkan mutu institusi-institusi bisnis dan pemerintahan kita. Tidak jarang dunia usaha kita belajar praktek-praktek terbaik dari interaksi dan kemitraan mereka dengan perusahaan-perusahaan asing. Perbaikan kinerja birokrasi kadangkala dipicu dan dipacu oleh adanya keluhan atau protes dari perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di sini.

Semua langkah di atas akan membuahkan hasil dalam jangka panjang. Generasi kita ditakdirkan untuk menanam, anak-cucu kita yang memanen.

(Sumber: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 24 Februari 2007).        

Tulisan asli ada di Kompasiana 

  1. Sayang sekali Blog sebagus ini kok gak keurus mas, lagi sibuk ya? padahal, isinya mantap, tulisan nya berisi. Jadi layak untuk jadi referensi.

    Salam kenal

  2. pangah ngantuik bosssssss,,,,,,, kurang mujarab,,, lq bat kuat pa?

Tinggalkan komentar